MENGHIDUPKAN VISI DAN INSPIRASI GURU
Disusun Oleh : Ideh & Abung
Salah satu cara pengembangan keberadaan guru sebagai pelaku pendidikan adalah kemampuannya dalam menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja profesional. Tantangan berat guru yang ditandai dengan jungkir balik tatanan nilai adalah menghidupi visi dan inspirasi guru yang menjadi jiwa bagi kinerja lembaga pendidikan.
Dalam bahasa manajemen, visi dipahami sebagai gambaran mental tentang keadaan organisasi yang diinginkan di masa depan (Senge, 1990, hlm. 9). Lembaga pendidikan yang tidak memiliki visi seperti sebuah kerumunan orang tanpa tujuan yang bekerja sendiri-sendiri. Visi mengacu pada kenyataan (realism), kepercayaan (credibility) dan ketertarikan (attractiveness) (Nanus, 1992).
Ada kondisi atau keadaan nyata yang ingin dicapai melalui visi tersebut. Keadaan yang akan dicapai itu merupakan sesuatu yang layak diperjuangkan karena ada nilai dan kebaikan yang menjadi daya penarik, pengikat, pendorong semangat yang memberikan tiap individu yang terlibat dorongan moral dan rasa memiliki tugas dan panggilan bagi kehidupan.
Karena itu, mengembangkan visi bisa berarti menciptakan gambaran mental tentang situasi yang diinginkan di masa depan, seperti, dalam konteks pengajaran dan pembelajaran. Termasuk di dalamnya menumbuhkan lingkungan yang kondusif untuk mengajar dan belajar.
Visi menjadi panduan untuk menentukan isi dan proses tentang bagaimana sekolah dan guru dapat melaksanakan tugasnya dalam mendidik dan mengajar siswa. Tanpa memiliki visi ini, guru akan kehilangan inspirasi.
Tanpa inspirasi seperti ini, guru hanya akan menjadi bulan-bulanan permainan jungkir balik nilai yang ada di dalam masyarakat, sebab pada kenyataannya tidak semua nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat menjadi gagasan baru yang senantiasa relevan bagi lembaga pendidikan pada umumnya, dan kinerja guru pada khususnya.
Gagasan baru seperti kecepatan, produktifitas, efektifitas dan efisiensi merupakan mantra yang telah merambah hampir ke semua bidang kehidupan. Inilah nilai-nilai baru yang menguasai dinamika kehidupan dalam masyarakat kita. Situasi ini jika tidak dicermati akan mengeras visi dan mematikan inspirasi guru.
Kecepatan membuat apa yang kita lewati kemarin menjadi barang lampau yang tidak relevan dibicarakan. Sementara laju perubahan ke depan belum dapat diperkirakan dan kembali ke masa lalu sudah tidak bisa lagi.
Guru bisa terjebak dalam sebuah sindrom yang oleh Lortie (1975) disebut dengan sindrom kekinian (presentism), yaitu, sibuk mengurusi tugas hari ini yang sifatnya jangka pendek, hasil bisa langsung dilihat dan dirasakan, seperti bekerja sekedar memenuhi tuntutan agar siswa lulus ujian. Yang penting membuat anak didik lulus Ujian Nasional, itu cukup, yang lain dipikirkan belakangan.
Pendidikan budi pekerti? Pendidikan moral? Apa itu Kedisiplinan? Hm. jangan lagi bicara itu. Guru terpangkas kebebasan dan otonominya menjadi sekedar kaki tangan birokrat pendidikan yang tidak mengerti makna pembelajaran dan pengajaran. Guru tampaknya saja bekerja dan bahagia, padahal pelan-pelan kelelahan fisik dan psikologis sedang menyerang dan menggerogoti hidupnya.
Kegandrungan guru akan hari ini telah mengeras dan mematikan inspirasi, visi serta harapannya di masa depan. Jika guru telah kehilangan visi dan inspirasi yang menjadi panduan bagi pencarian makna pekerjaannya hari ini dan di masa depan.
Kehampaan dan kesia-sialan yang akan ia rasakan ketika seluruh tubuhnya sudah tidak mampu lagi bekerja sebagai guru. Masa senja lantas berubah wajah menjadi saat-saat yang menakutkan. Padahal menjadi tua dan kehilangan tenaga itu sudah merupakan kodrat manusia. Guru tentu juga mengerti bahwa tidak selamanya ia akan menjadi guru. Ada saatnya ia mesti berhenti dan menikmati jerih payah pengabdian di senja usianya.
Visi dan inspirasi yang memotivasi para guru dalam bekerja selalu terbentang di depan dan menjadi horison yang samar-samar ingin digapai. Tanpa kekuatan menatap ke depan seorang guru bisa kehilangan tempat di mana ia berpijak. Ia bisa kehilangan roh yang mempersatukan pengalamannya di masa lalu, sekarang dan masa depan. Sayangnya, dinamika masyarakat telah memangkas ikatan masa lalu ini dengan logika kecepatan yang diusungnya dan menjerumuskan guru pada dinamika kekinian yang membuatnya sibuk, aktif, namun kering dan miskin akan visi dan inspirasi atas apa yang sedang dikerjakannya.
Logika kecepatan juga bertentangan dengan dinamika sebuah lembaga pendidikan yang menghargai proses. Pertumbuhan individu tidak dapat dipaksakan. Ia berkembang selaras dengan bertambahnya usia. Anak didik tidak dapat dikarbit dan dipaksa matang sebelum waktunya. Selain itu, ada hal-hal dalam hidup yang tidak dapat ditera melalui nilai efisiensi dan efektititas.
Jika kita kaitkan dengan perkembangan kepribadian individu akan semakin kelihatan bahwa untuk menjadi dewasa membutuhkan waktu. kedewasaan tidak dapat dipercepat. Memahami makna sebuah proses merupakan bagian integral dari sebuah kinerja pendidikan untuk menghidupkan visi dan inspirasi guru.